News

Dilema Partai Politik Paska Reformasi

Laksamana Sukardi

Partai politik merupakan pilar demokrasi, adalah salah satu amanat konstitusi yang juga sering disebut oleh para pimpinan partai politik di Indonesia.

Sesungguhnya konstitusi mengamanatkan partai politik untuk menjadi pilar demokrasi dengan tujuan dan tanggung jawab yang berat kepada partai politik, yaitu untuk melakukan kaderisasi, pembinaan, melatih dan memberikan kesempatan para anggotanya mendi calon pemimpin yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang makmur, sejahtera dan adi daya.

Hingar bingar dan drama menjelang pilkada saat ini membuktikan bahwa tugas dan tanggung jawab tersebut masih jauh panggang dari api. Alih alih mampu menciptakan kader menjadi calon pemimpin dengan elektabilitas yang tinggi partai politik dengan usia lebih dari 20 tahun ternyata tidak memiliki kandidat yang dianggap mampu untuk memenangkan pilkada atau Pilpres karena kurangnya elektabilitas kadernya yang mumpuni.

Kenyataan tersebut dapat dilihat dari pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah yang telah berjalan dan diikuti oleh partai politik. Munculnya Presiden Joko Widodo, Ahok, Ridwan Kamil, Anies Baswedan dan Mahfud MD yang lahir dan tumbuh diluar partai politik merupakan bukti ketidak mampuan partai politik untuk menciptakan dan melahirkan pemimpin bangsa. 

Walaupun akhirnya tokoh tokoh diluar partai diusung oleh partai dan didaulat menjadi kader, hal tersebut merupakan jalan pintas yang seharusnya tidak terjadi. Karena kenyataan tersebut mengukuhkan bahwa fungsi partai politik (terutama Ketua Umumnya) merupakan pemegang “franchise kekuasaan” yang dapat menjual ticket untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan.

Ibaratnya seperti pemain sepak bola yang ditransfer atau dibeli dari luar klub, karena mereka tidak mampu menciptakan pemain yang baik dari akademi sepak bola yang mereka miliki.

Partai politik yang menganut pola kepemimpinan feodal dan otoriter, tidak mungkin akan mampu menjalankan amanah konstitusi untuk menjadikan partai politik sebagai kawah candradimuka calon pemimpin nasional. Para ketua umumnya tidak akan mau memberikan kadernya kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya ditingkat nasional, karena akan menjadi ancaman kedudukan dan kekuasaan frenchise kekuasaan mereka. Bahkan jika ada kader yang sudah mendekati garis demarkasi dan mengancam kedudukannya akan segera dimatikan kariernya.

Dengan demikian ketika memasuki pemilihan (Pilkada, Pilpres) mereka akan mengalami kebuntuan karena tidak memiliki kader dari dalam yang berhasil dibina (karena memang tidak pernah diharapkan) oleh partai politik. Akhirnya mereka berupaya mencari calon dari luar partai politik dengan berbagai macam cara. Ada yang memaksa untuk masuk menjadi kader partai jika mau diusung sebagai calon atau juga ada yang bersifat transaksional (wani piro?).

Kebiasaan seperti ini akan membuat kehadiran hubungan emosi partai dan kandidat menjadi hampa dan karena tidak adanya hubungan historis emosional dan kebersamaan espri de corps (perasaan kebersamaan loyalitas dan kebanggaan terhadap organisasi).

Akhirnya hubungan tersebut bersifat sementara dan selama keuntungan bersama telah selesai mereka akan mengalami proses berpisah. Perpisahan ini pada umumnya saling menyakitkan dan ada yang menganggap sebuah pengkhianatan besar.

Memasuki pilkada saat ini, apa yang dilakukan PDIP merupakan sebuah dilema dari kurang berfungsinya partai politik sebagai pilar demokrasi yang diamanatkan oleh konstitusi.

Fenomena wacana pengusungan Anies Baswedan untuk calon gubernur Jakarta dan Airin Rachmi Diany untuk calon Gubernur Banten merupakan refleksi yang tepat terhadap permasalahan ini.

Karena perseteruan Megawati dan Jokowi yang sangat tajam dan Jokowi dianggap sebagai pengkhianat, maka muncul pertimbangan untuk mengusung Anies Baswedan walaupun secara ideologis memiliki perbedaan. Setelah opsi tersebut dianggap kurang pas, maka akhirnya dicari kader internal yaitu Pramono Anung untuk dicalonkan sebagai bakal gubernur Jakarta.

Penunjukan yang mendadak ini menjadikan tugas Pramono sangat berat, karena beliau belum pernahn untuk menggunakan kesempatan mengaktualisasikan dirinya sebagai calon pemimpin nasional.

Sedangkan kasus pengusungan Airin merupakan bukti bahwa kader PDIP di Banten tidak memiliki elektabilitas yang tinggi. Maka ada kader Golkar yang elektabilitasnya tinggi dan sempat dicampakkan oleh Golkar (ceritanya agak panjang) maka cepat cepat ditangkap dan diusungkan oleh PDIP. Akhirnya Golkar sadar maka Airin segera diusung menjadi calon gubernur Banten. Airin pun yang telah dipaksa menjadi kader PDIP karena menerima pencalonannya berbalik mengatakan rumah saya di Golkar.

Apapun drama politik menjelang pilkada yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pemimpin nasional lebih baik menjalani proses tumbuh berkembang diluar partai karena mereka akan bebas mengaktualisasikan dirinya tanpa hambatan dari oligarki partai yang jelas jelas membuat garis demarkasi yang tidak boleh dilangkahi.

Akhirnya peran partai politik sebagai pilar demokrasi tidak akan terwujud dengan baik dan tidak mustahil berkembang menjadi frenchise kekuasaan dan melahirkan oligarki oligarki politik yang tidak bertanggung jawab.

Reformasi Partai Politik harus segera dilakukan dengan membangun political governance (tata kelola politik) yang baik, Jika Indonesia ingin menjadi negara makmur, sejahtera dan adidaya.

Related Posts

1 of 23